Munculnya Organisasi Keraton Sejagat Dalam Menyebarkan Hoax – Setyo Eko Pratolo betul-betul menyesali keputusannya. Lelaki 58 tahun itu malu dan merugi gara-gara bergabung dengan Keraton Agung Sejagat. Apalagi Eko merupakan Kepala Seksi Pemerintahan Desa Pogung Juru Tengah, Purworejo. Walhasil, dia mendapat sorotan lebih banyak dari masyarakat sekitar ketimbang anggota keraton yang lain.
Di desa Eko itulah Keraton Agung Sejagat berdiri. Eko lantas menceritakan pengalamannya menjadi pengikut Keraton. Berbicara lirih sembari duduk di kursi kayu halaman rumahnya, Eko beberapa kali menghela napas seraya menahan air mata. slot88
Eko kadung tertipu oleh Toto Santoso, pria yang menghabiskan diri sebagai Raja Keraton Agung Sejagat. Kepada Bendahara Keraton bernama Sarwono yang juga warga desa itu, Eko menyetorkan uang sekitar Rp 8,5 juta. Duit tersebut semula ia harapkan bakal kembali berlipat ganda. Namun ia curiga uang itu kini raib, sebab Sarwono tak pernah terlihat lagi, sedangkan Raja dan Ratu Keraton malah diciduk aparat. www.benchwarmerscoffee.com
“Uang segitu saya pinjamkan (ke Keraton). Akhirnya kayak
gini, apa enggak pusing saya?” ucap Eko kepada kumparan di Purworejo, Kamis
(16/1).
Menurutnya, duit Rp 8,5 juta itu digunakan antara lain untuk
mendaftar menjadi anggota Keraton sejumlah Rp 2 juta, membeli seragam Keraton
Rp 2-3 juta, kirab dan sidang Keraton Rp 2,3 juta, dan konsumsi serta buku
panduan senilai Rp 2 juta.
Besaran biaya pendaftaran, tutur Eko, akan memengaruhi jabatan seseorang di kerajaan tersebut. Eko yang menyetor Rp 2 juta saat mendaftar, berhak mendapat pangkat bintang tiga atau setara dengan letnan jenderal.
“Bintang satu harganya segini, bintang dua segini, bintang
tiga segini. Bodohnya (saya) karena memang tidak paham,” ujar Eko.
Ada empat kelompok bintang yang bisa dipilih setiap anggota
Keraton Agung Sejagat. Bintang empat, tingkatan tertinggi, hanya diisi sekitar
14 orang. Mereka berhak atas jabatan resi alias penasihat kerajaan.
Sementara bintang tiga, dua, dan satu, belum mendapat posisi
spesifik. Rencananya, pembagian peran antara ketiga level bintang itu akan
dilakukan usai sidang kerajaan pada 11-12 Januari 2020, bersamaan dengan jadwal
pencairan gaji pertama mereka.
Apa boleh buat, sidang keraton yang ditutup dengan
konferensi pers deklarasi keraton justru menjadi awal huru-hara. Dua hari
kemudian, Selasa (14/1), Raja dan Permaisuri Keraton Agung Sejagat ditangkap
polisi. Mereka dituding berbuat onar, menebar kebohongan, dan menipu. Keduanya
dijerat Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal
378 KUHP.
Eko pun batal menjadi letnan jenderal seperti yang ia angankan. Eko sebetulnya sudah mengendus bau busuk Keraton Agung Sejagat sejak akhir 2019 atau sebulan sebelum Sidang Keraton. Ia, misalnya, merasa legalitas Keraton tidaklah jelas. Itu sebabnya ia sempat ingin keluar, namun entah kenapa selalu urung terlaksana.
“Saya sendiri merasakan apakah ini yang namanya hipnotis,
cuci otak, atau apa?” kata Eko. Ia seolah kebingungan dengan kondisinya sendiri
yang tak bisa memutuskan hengkang dari Keraton meski dalam hati ingin
melakukannya.
Kecurigaan Eko pada Keraton Agung Sejagat memuncak ketika
sang raja yang disebut “Sinuhun” alias “Baginda” itu menyebut hal-hal yang
menurutnya di luar logika saat sidang berjalan, dari mulai status Keraton Agung
Sejagat yang membawahi Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai kedudukan Keraton yang
menguasai seluruh dunia.
Eko jadi terheran-heran. “Pertama, kok bisa sampai mendunia?
Kerajaan (kok katanya) menguasai negara-negara? Kedua, yang ikut Sidang
(Keraton saat itu) nanti akan mendapat gaji. Sumber dananya dari mana?” Eko
benar-benar tak habis pikir.
Usai Sidang Keraton pada Minggu (12/1), Eko langsung
menanggalkan seragamnya dan bergegas pulang. Sampai di rumah, dia tak bisa
tidur. Apalagi bila teringat jawaban Toto kepada para wartawan yang khusus
diundang untuk menyaksikan deklarasi Keraton.
Dalam sesi tanya jawab dengan wartawan, empat kali Toto
ditanya tentang sikapnya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jawaban
yang diberikan Toto, menurut Eko, seolah tidak mengakui NKRI.
“Jawaban itu bikin saya panas. Saya ngelus dada. Makanya, ya
sudah, pada dasarnya saya ini tertipulah,” kata Eko, menyesali diri.
Apa sih sesungguhnya yang membuat Eko sampai terperdaya
dengan Keraton Sejagat?
Ini rupanya ada kaitannya dengan organisasi terdahulu
bentukan Toto yang bernama Jogja Development Economic Committee (DEC). Tahun
2015, Eko pernah diajak oleh atasannya di kantor desa dulu, Chikmawan, untuk
bergabung dengan Jogja DEC yang menyebut diri sebagai organisasi kemanusiaan
dan pemberdayaan ekonomi.
Diiming-imingi upah tinggi dalam kurs mata uang asing, Eko
pun bergabung, namun sebagai anggota pasif. Jogja DEC mengklaim memiliki
pendanaan dari Esa Monetary Fund (ya, EMF kata mereka, bukan IMF yang
International Monetary Fund).
EMF itu, kata mereka lagi, adalah badan keuangan tunggal
dunia yang berkantor pusat di Swiss. Negeri yang dikenal dengan kerahasiaan
bank-banknya itu memang sering disebut-sebut sebagai lokasi penyimpanan harta
raja-raja nusantara, meski hal tersebut tak pernah dapat dibuktikan.
Seingat Eko, Jogja DEC eksis sampai 2017. Berdasarkan
penelusuran kumparan, Jogja DEC sempat mendirikan cabang di sejumlah daerah,
antara lain Lampung Tengah dan Aceh Tengah. Di daerah-daerah itu, DEC
menjanjikan ribuan lowongan pekerjaan dan gaji besar bagi orang-orang yang
bergabung. Namun Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah kemudian melarang organisasi
itu.
Eko sendiri belum sempat menerima imbal hasil dari Jogja DEC
karena lembaga itu keburu tutup usia lantaran program-programnya mandek sebab
kekurangan anggota. Lepas dari Jogja DEC, Eko berjumpa Sunda Empire yang punya
kemiripan pola dengan Jogja DEC dan Keraton Agung Sejagat. Bagaimana tidak,
sebab ketiganya sama-sama menyinggung aliran dana dari bank di Swiss—negara
yang kata mereka menjadi basis Esa Monetary Fund, sumber dana
organisasi-organisasi tersebut.
Salah satu akun Twitter atas nama Esa Monetary Fund
Nusantara bahkan mencantumkan deskripsi “Sunda Empire, Earth Empire”. Eko tak
berminat bergabung dengan Sunda Empire—yang ternyata pernah diikuti oleh Toto
Santoso sang Raja Keraton Agung Sejagat. Berikutnya, muncul pula World Empire.
Eko kembali tak tertarik.
Tahun berikutnya, 2018, beredar kabar soal Keraton Agung
Sejagat di grup WhatsApp Jogja DEC. Eko lagi-lagi diajak bergabung.
“Saya dihubungi lagi, diajak. Keraton Agung Sejagat itu
(isinya) dari anggota-anggota Jogja DEC dulu. Banyak (mantan anggota Jogja DEC)
yang enggak ikut (karena sebelumnya di Jogja DEC tidak menghasilkan apa-apa),”
terang Eko.
Ia menyebut sistem penjaringan anggota Keraton Agung Sejagat
mirip skema multilevel marketing (MLM). Nah, kali ini Eko tergiur. Sebab selain
gaji, dia juga dijanjikan pangkat.
Meski demikian, Eko mengatakan bahwa faktor ekonomi adalah
alasan utamanya untuk bergabung dengan Keraton Agung Sejagat (KAS). Selama ini
Eko hidup pas-pasan dari gaji perangkat desa dan hasil bertani. Oleh sebab itu
ia mengiyakan ajakan bergabung dengan KAS sebagai sampingan. Setidaknya, semula
ia menganggap KAS bisa menjadi sumber penghasilan tambahan.
Toto Santoso, Raja Keraton Agung Sejagat, di mata Eko adalah
sosok meyakinkan. Sang Sinuhun mampu mengalirkan narasi dengan penuh percaya
diri, tanpa terdengar sedikit pun keraguan pada nada bicaranya. Wajar saja bila
kemudian banyak orang terbius ucapan Toto. Setidaknya, 450 orang pengikut KAS
“terhipnotis” olehnya.
“(Toto) menyampaikan bahwasanya dalam Kitab Jayabaya itu, di
Purworejo akan ada keraton. Di (bagian) mana Purworejo (disebut) Bagelen. Jadi
cocok, nyambung,” kata Eko soal cocoklogi yang dilakukan Toto untuk menjaring
pengikut.
Bagelen yang kini merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Purworejo, dulu adalah pusat pemerintahan wilayah sebelum Purworejo
didirikan oleh Hindia Belanda. Dahulu kala, Begelen di selatan Purworejo punya
nama Pegelen alias Medanggele alias Medang Kamulan—kerajaan yang konon ada di
Jawa Tengah.
Guru besar Arkeologi UI Agus Aris Munanadar, mengingatkan
masyarakat untuk tak langsung percaya omongan Toto yang menyangkutpautkan
Keraton Agung Sejagat dengan Majapahit maupun ramalan kerajaan baru di
Purworejo.
“Itu yang disebut pseudohistory. Sejarah dikarang-karang
sebagai pembenaran aja,” kata Agus.
Segala urusan keraton ini akhirnya berbuah pahit bagi Eko.
“Saya sadar saya tertipu. Tapi mau berontak, mau ngucap bicara, saya enggak
bisa. Semua (anggota) merasakan hal seperti itu,” ujarnya.
Eko juga saat ini hilang kontak dengan Chikmawan, mantan
rekannya di kantor desa yang mengenalkannya dengan organisasi Toto Santoso.
Chikmawan, menurut Eko, cukup dekat dengan Toto. Keduanya
kerap terlibat dalam beberapa obrolan. Eko memandangnya wajar, karena Chikmawan
menjabat sebagai resi atau orang suci di Keraton. Resi Djoyodiningrat adalah
nama Chikmawan yang semula hanya diketahui oleh kalangan internal kerajaan.
Keberadaan Chikmawan masih simpang siur hingga kini. Ibunya
tak tahu-menahu, sementara beberapa orang lain bilang ia masih di kepolisian,
dan yang lain lagi menyebut dia sudah pulang ke rumahnya. Rumah Chikmawan
itulah yang menjadi bangunan Keraton Agung Sejagat dan kini dikerumuni
masyarakat yang penasaran dengan isinya.
Warga Desa Pogung Juru Tengah menyebut para anggota Keraton
Agung Sejagat cenderung tertutup. Dari sekitar 450 pengikut Keraton, ujar
warga, hanya empat yang berasal dari desa tersebut. Sisanya berasal dari
berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bantul, Imogiri, Gunungkidul, bahkan
Lampung.
Ada pula pengikut Keraton yang kemudian memilih keluar.
Mereka inilah yang kemudian berbicara terbuka kepada warga. Rata-rata merasa
sakit hati karena uangnya tidak kembali.
Sementara Bupati Purworejo Agus Bastian yang sempat senang
karena Keraton Agung Sejagat menaikkan pamor wilayahnya, kini menerjunkan tim
bersama Polda Jawa Tengah untuk menelusuri unsur penipuan Keraton tersebut.
Dari hasil penelusurannya, ada sekitar 60 hingga 70 orang
yang terlibat Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Mereka datang dari ragam
latar belakang, namun didominasi usia 40 tahun ke atas.
“Enggak main-main. Ada ASN, guru, purnawirawan,” kata Agus .
Ia menambahkan, “(Mereka) tentunya (seharusnya) sudah
mengerti dan sudah bisa mencerna apakah (Keraton Agung Sejagat) itu betul atau
tidak. Tapi kehebatan dari Pak Toto Santoso ini memang mampu meyakinkan para
pengikutnya.”
Sosiolog UGM Suprapto menjelaskan, masyarakat dalam strata
apa pun memang bisa saja teperdaya oleh kelompok semacam Keraton Agung Sejagat
atau Sunda Empire dan empire-empire lain.
Secara sosial, individu berpendidikan tinggi dan berekonomi
mapan tak terjamin bebas dari bujuk rayu orang seperti Toto Santoso.
“Mereka yang bisa diajak dalam kelompok-kelompok tersebut
adalah yang secara psikologis tidak dewasa. Emotional quality-nya rendah
meskipun (memiliki) IQ tinggi,” kata Suprapto.
Kemunculan Keraton Agung Sejagat, lanjutnya, juga wujud dari
teori struktur sosial bahwa manusia akan selalu berusaha mencapai ambang batas
yang untuk mencapainya dibutuhkan harta dan takhta. Pada titik ini, jika cara
wajar ditempuh, itu artinya mereka belajar dan bekerja. Namun bila tidak, maka
cara-cara menyimpang bermunculan.